EmosiKu
*
Roni sebagai pemilik kamar itu memang seorang yang pendiam, tapi tidak demikian dengan Surya, dia adalah seoarang anak yang ramai. Dan apa yang terjadi malam itu? Roni hanya duduk di depan komputernya dan main soliter dengan kakinya yang terjuntai ke atas meja, sedang Surya terlentang di kasur sambil kutak-kutik hanphone. Mereka berdua memiliki postur tubuh yang kurus, hanya saja Surya terlihat lebih pendek.
Kamar itu masih saja tanpa suara setelah satu jam dua remaja itu berada di dalamnya. Hingga akhirnya.. “Hey…”. Sebuah suara terdengar dari pintu. “Kalian ini memang manusia-manusia tidak berguna. Ini
Roni dan surya hanya terdiam, walau ada sedikit rasa kesal pada Edi karena telah mengganggu kesibukan mereka untuk menikmati kebosanan yang seolah tanpa akhir. Mereka hanya menatap Edi dengan pendangan sinis dan kemudidan kembali pada kebosanan masing-masing.
“Sori…” Kata Edi sambil melangkah masuk ke kamar Roni.
Edi duduk di sebuah sofa yang terletak di sebelah meja Roni. Dia juga ikut terdiam dan kemudian juga membakar rokok. Bertambah satu lagi mesin pembuat kabutnya.
Edi yang terbilang paling ribut diantara tiga anak ini merasa tidak tahan dengan suasana ini. Dia sudah terdiam tidak kurang dari setengah jam. “Aku tahu apa yang kita butuhkan”, kata Edi dengan pandangan yang tidak terfokus. “Memangnya apa?” Tanya Roni. “Aku nggak mau godain cewek-cewek lagi !!”. Mereka masih terfokus dengan kegiatan masing-masing dan tidak mau berfikir sama sekali. Hanya Edi yang terlihat bermain-main dengan otaknya. Cowok yang memiliki postu paling besar di antara tiga sahabat ini mulai berdiri dengan bersemangat.
“Aku bener-benar tahu apa yang kita butuhkan”, kata Edi. “Kita hanya butuh adrenalin mengalir dalam pembuluh darah kita. Dengan begitu aku nggak akan menyaksikan wajah-wajah kalian yang membosanakn ini lagi”.
“Memangnya kita mau ngapain?” tanya Surya. “Mau nyari setan, apa mau nyulik anak orang, atau mau ngerampok bank?”.
Roni kaget mendengar kata-kata Surya. Dia menatap kedua temannya secara bergantian. Otaknya yang sesaat sebelumnya masih kosong kini terisi dengan sebuah ide besar lengkap dengan segala detailnya.
“Aku ada ide”, kata Roni. “Edi benar, kita bertiga hanya butuh adrenalin tapi ide kamu terlalu susah, Sur. Aku punya ide yang lebih mudah”.
“Apaan, Ron?”, tanya Edi bersemangat.
“Dengar!”, kata Roni. “Kamu juga, Sur! Jangan main hanphone terus!”.
Roni mulai merubah posisi duduknya agar bisa melihat kedua temannya. Dia benar-benar bersemangat kali ini. Surya juga sudah meninggalkan handphone-nya dan duduk di kasur.
“Iya… Iya…”, kata Surya, dengan nada lesu. “Sebaiknya ide kamu benar-benar menarik. Soalnya kalau nggak, artinya kamu sudah mengganggu aku dalam usaha mendekati Lia”.
“Kalau mau deketin cewek jangan cuma lewat HP dong!”, sahut Edi.
“Sirik…”, sahut Surya.
“Sudah, sudah!”, sela Roni. “Dengar! Kita tidak akan mencari setan, menculik anank orang atau juga merampok bank, oke. Kita hanya akan merampok toko atau semacam mini market yang buka 24 jam. Aku punya rencana yang benar-benar menarik”.
“Tapi
“Memang”, kata Roni. “Tapi ada sebuah toko kecil dengan omset yang cukup lumayan. Dan yang penting dia buka malam sampai pagi. Penjaganya yang sekaligus pemiliknya tinggal disitu juga. Pasti ada banyak yang di simpannya. Tempatnya di
Roni memperhatikan kedua temannya dengan seksama. Mahasiswa UNS ini seolah-olah berusaha untuk membaca pikiran kedua rekannya. Tidak ada masalah dengan Edi. Hanya Surya yang terlihat tidak yakin dengan rencana Roni.
“Apa kita butuh uang?”, tanya Surya.
“Aku tidak bicara soal uang”, jawab Roni. “Memangnya kapan kita bertiga pernah komplain soal uang? "Nggak pernah!!" iya
“Tapi kita butuh persiapan matang dalam waktu singkat”, kata Edi.
“Aku Tanya dulu”, kata Roni. “Siapa yang ikut?”.
Roni mengulurkan tangannya untuk dapat toss dari temannya yang setuju.
“Aku ikut”, kata Edi.
Edi bersemangat sekali dengan rencana gila temannya ini. Namun tidak demikian dengan Surya, dia nampak belum bisa mengambil keputusan.
“Kamu, Sur?”, tanya Roni.
Surya akhirnya juga ikut dalam permainan ini setelah berfikir sesaat karena dia memang merasa kebosanannya sudah di ambang batas normal.
“Aku juga ikut deh”, kata Surya.
“Oke, kalau kalian ikut kita akan merencanakan detailnya”, kata Roni.
“Kita akan menjadi tim yang hebat”, kata Edi.
Mereka akhirnya melakukan toss bersama.
“Pertama kita harus menguasai
“Bagus”, kata Edi. “Tapi kita tidak boleh terlihat sama sekali. Soalnya kalau kita sampai terlihat habislah kita”.
“Baiklah, kalian dengarkan sampai aku selesai ngomong!”, kata Roni.
Roni seolah-olah sudah mempunyai suatu rencana sangat matang dalam kepalanya dan dia tinggal membacakan pada teman-temannya.
“Pertama-tama”, kata Roni. “Kita harus paham betul lokasinya dan aku cukup paham betul dengan lokasi tersebut. Di depan toko kecil itu ada sebuah hotel dan sebelah toko ada sebuah tempat wedangan. Itu bukan masalah buat kita karena kita akan beroperasi waktu wedangan sudah tutup dan itu sekitar jam 2 dini hari. Aku yakin orang-orang hotel tidak pernah memperhatikan sekitarnya. Asalkan kita bertindak dengan rapi maka mereka tidak akan pernah tahu kalau ada perampokan saat itu. Untuk urusan transportasi kita akan naik mobilku, tapi harus dirubah plat nomornya dan juga harus dipasang beberapa stiker yang mencolok. Kita akan melepaskannya setelah misi selasai dan juga harus pakai penutup muka berupa stoking, sarung tangan. Selain itu kita juga bawa senjata untuk menakut-nakuti dan jangan pakai senjata tajam. Kita pakai pipa besi saja, ada banyak di belakang pipa-pipa bekas yang tidak terpakai dan kita tinggal memotongnya. Apakah ada yang perlu di tanyakan sampai di sini?”.
“Plat nomornya bagaimana?”, tanya Surya.
“Itu nanti aku yang atur”, kata Edi. “Roni
“Oke”, kata Surya. “Kalau begitu aku yang akan bikin stickernya. Aku bisa bikin pakai skot light, tapi butuh banyak sih.”
“Itu masalah gampang”, kata Roni. “Nanti aku kasih uang dan kalian belanja. Aku akan bikin pipa besinya. Aku rasa masih ada gergaji di gudang. Begitu kalian selesai belanja kita akan mebuat rancananya, oke”.
Roni kemudian memberikan uang pada rekan-rekannya unatuk membeli keperluan mereka. Merekapun pergi ke tujuan masing-masing dan Roni sendiri sibuk memotong pipa-pipa besi.
Kurang dari satu jam kemudian mereka sudah berkumpul lagi di kamar Roni. Edi membawa sekaleng cat hitam dan dan juga sarung tangan warna putih serta stoking. Surya membawa segulung skot light warna kuning, gunting, dan juga beberapa keperluan untuk mebuat sticker.
“Kalian sekarang kerjakan tugas masing-masing”, kata Roni. “Sur, kamu bikin sticker apa saja yang penting bisa terbaca jelas dan juga besar! Kamu Ed, kamu bikin plat nomor, plat nomornya ada di lemari. Aku sudah bikin pipa besinya dan tadi nemu warepack di gudang. Agak bau sedikit sih, tapi nggak pa-pa.”
“Oke”, kata kedua teman Roni.
Mereka langsung saja mengerjakan semuanya, sedangkan Roni menjelaskan rencana yang ada di otaknya.
“Jam dua tepat kita sudah harus cabut”, kata Roni. “Kita harus memastikan keadaan saat itu aman. Setelah yakin keadaan aman kita langsung masuk ke tempat parkir. Tempat parkirannya hanya bisa untuk satu mobil. Begitu kita parkir. Kita pakai stoking dan keluar dengan cepat. Begitu kita keluar dari mobil, langsung menuju ke penjaga tokonya. Minta apa yang kita inginkan, oke. Waktu kita jangan sampai lebih dari 10 menit. Kalau nggak kita bisa celaka. Dan satu lagi! Tidak ada yang boleh memanggil dengan nama asli!! Aku John, Surya Paul, dan Edi adalah Ringgo. Kita hampir jadi The Beatles. Clear?”
“Sip”, Sahut Edi dan Surya.
Setelah itu mereka berhamburan keluar dari kamar dan langsung mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.
*
Waktu masih menyisakan tiga jam untuk mempersiapkan mental mereka.
“Ini tidak main-main”, kata Roni. “Kalau sampai gagal, kita akan benar-benar celaka, sekali lagi CELAKA!!”, Roni mengingatkan lagi pada teman-temannya.
“Tapi kalau berhasil kita akan jadi bandit yang terkenal”, sahut Edi.
“Ya…”, sahut Surya. “Aku mau jadi bandit terkenal“.
“Bagus!!”, sahut Roni. “Kita akan kalahkan mereka”.
Mereka bertiga kemudian tertawa lepas dan puas. Mereka benar-benar sudah menemukan permainan baru.
“Dan aku pikir ini akan lebih menarik dari pada main soliter”, kata Roni.
*
Setelah jam dua tepat, tiga remaja mahasiswa UNS itu langsung saja melaju ke luar dengan mobilnya. Melintasi jalanan yang sepi di
Tiga remaja yang berada di dalam mobil terlihat tegang dan hanya bisa terdiam. Mereka mempertaruhkan masa depan mereka demi sebuah kesenangan sesaat.
“Apa kalian yakin dengan tindakan kita ini?”, tanya Roni. “Kalau ada di antara kalian yang ragu, sekarang masih belum terlambat”.
“Nggak kok”, kata Surya. “Aku pingin jadi Billy The Kid”.
“Bagus!!” Sahut Roni.
*
Sementara di sebuah toko kecil yang terletak di Kota Barat di
Bisnis itu memang tidak besar tapi cukup bagus, karena satu-satunya toko di kota Solo yang buka sampai pagi. Toko itu juga tidak terlalu besar tapi juga tidaklah kecil. Hanya ada satu buah etalase dan terletak di sisi paling depan dari toko itu. Membentang sekitar
“Permisi...”, suara terdengar datang dari depan tokonya.
“Sebentar…”, kata lelaki tua itu.
Lelaki itu kemudian keluar dari kamarnya untuk menemui pembeli yang sudah memanggilnya. Lelaki itu tidak terlalu besar bahkan bisa dibilang kecil, dia hanya mempunyai tinggi sekitar 160 cm. Rambutnya sudah tumbuh uban di sana-sini. Dia adalah seorang lelaki yang sudah bisa dibilang renta karena berdirinya juga sudah tidak telalu tegak. Saat itu sudah jam 2:20 dini hari.
“Pak, tolong minta rokok Marlboro dua bungkus dong!”, suara terdengar dari pembeli itu. “Sama satu bungkus kopi yang besar, kopi apa saja juga boleh”.
“Wah mau lembur nih, mas?”, tanya pak Edi.
“Iya”, jawab pembeli itu. “Banyak kerjaan nih”.
“Ini”, kata pak Edi sambil memberikan pesanan yang diminta pembeli. “Semuanya 20 ribu”.
Pak Edi menyerahkan barang pesanan pembelinya dengan sangat sopan.
“Terima kasih Pak”, kata Pembeli itu, lalu membayar dan mengambil barang pesanannya, kemudian pergi dengan sepeda motornya.
Baru saja Pak Edi hendak masuk ke kamar tidurnya lagi tiba-tiba sebuah mobil sedan dengan tulisan “Billy The Kid” masuk ke tempat parkir yang sempit di depan tokonya.
“Ingat! Aku adalah John, Surya adalah Paul, dan Edi Adalah Ringgo. Pakai stoking kalian dan juga bawa pipanya! Ringgo bawa tasnya!”.
“Oke, John”, kata Edi alias Ringgo. “It’s show time”.
“Kita toss sekali lagi!”, kata Surya alias Paul.
Mereka bertiga melakukan toss terkhir sebelum meninggalkan mobil. Tiga pintu mobil itu terbuka serentak, dua pintu di depan dan satu pintu di belakang. Ketiga remaja itu mengenakan wearpack warna gelap, kaus tangan putih, sebuah pipa besi, dan sebuah stoking yang membungkus kepala mereka. Mereka langsung masuk mengarah ke pak Edi dengan sangat cepat. Mereka melompati etalase toko pak Edi satu-persatu dan langsung menghujamkan besi ke arah pak Edi.
Sesaat kemudian pak Edi sudah berada dalam sergapan tiga remaja itu. Pak Edi belum sempat berteriak tiba-tiba sebuah tangan sudah membungkam mulutnya. Lelaki tua itu benar-benar tidak berdaya, dia berusaha meronta tapi sia-sia. Sesaat kemudian lelaki tua itu sudah terikat dengan erat kedua kaki, tangan, dan mulutnya.
“Berikan uangnya!”, kata Surya alias Paul. “Kalau tidak, nyawamu dalam bahaya besar!!”.
“Ringgo, ambil uangnya!”, kata Roni alias John. “Cari di laci meja itu! Cepat! Ingat waktunya!”.
Edi alias Ringgo langsung menuju ke meja dan membongkar laci yang tidak dikunci itu.
“Cuma segini, John”, kata Ringgo. “Paling nggak sampai satu juta”.
“Paul, cari di belakang! Kalau ada kamar geledah saja!”, kata John.
Surya langsung menuju ke belakang dan dia menemukan sebuah kamar. Sementara itu Roni masih saja mengawasi lelaki tua itu dengan sigap. Sedangkan Edi sibuk memasukkan apa saja yang bisa masuk ke dalam tasnya. Tiba-tiba saja…..!!
“John, Sini!”, teriak Surya.
“Ringgo, kamu awasi pak Tua ini!”, kata Roni. “Aku mau melihat ke dalam”.
“Oke”, sahut Edi.
Edi berdiri dengan gagah di depan lelaki tua yang sudah tidak berdaya. Pak Edi tidak bisa apa-apa tapi tangannya yang diikat ke belakang sedang berusaha meraih sesuatu. Sesuatu itu selalu disimpannya di bawah rak untuk berjaga-jaga. Sesuatu itu sebilah pisau yang mirip bayonet. Jari-jarinya berusaha menarik pisau itu.
Roni bergegas untuk menyusul Surya yang ada di dalam kamar pak Edi. Dia langsung menghampiri Surya yang berdiri di depan sebuah lemari yang terbuka lebar.
“
“Lihat yang aku temukan!”, kata Surya. “Bukankah ini hebat? Kita bakalan jadi bandit beneran”.
“Wow”, kata Roni.
Roni hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setumpuk uang seratus ribuan tertata rapi memenuhi salah satu rak lemari itu. Dia mengawasi dengan mata terbelalak, tangannya mulai meraba tumpukan uang itu.
“Aku ambil tasnya dulu. Tunggu sebentar!”, kata Roni.
Roni buru-buru menuju ke depan untuk mengambil tas yang dibawa oleh Edi.
“Ringgo, berikan tasnya!”, kata Roni. “Kamu awasi dia!”.
Setelah mengambil tas dari Edi alias Ringgo, Roni masuk untuk mengambil semua uang yang ada di dalam lemari di kamar tersebut.
“Cepat masukan ke dalam tas!”, kata Roni.
“Menurutmu ini jumlahnya berapa?”, tanya Surya. “Aku benar-benar akan jadi Billy The Kid”.
“Jangan ngomong terus, masukin saja semuanya! Dan kita cepat-cepat pergi dari sini”.
Mereka berdua dengan cepat memindahkan isi lemari itu ke dalam tas mereka. Tangan mereka bergetar dengan hebat. Belum pernah mereka merasa gugup sepeti sekarang ini.
“Apa menurutmu kita akan selamat?”, tanya Surya.
“Diam!”, kata Roni.
Merekapun selesai memasukkan uangn ke dalam tas dan siap untuk keluar dari kamar. Namun tiba-tiba…
“Agghhkkk…”, suara itu lirih terdengar di telinga Roni dan Surya.
Roni dan Surya saling memandang sejenak kemudian cepat-cepat lari ke luar untuk memeriksa apa yang terjadi.
Mereka berdua benar-benar terkejut dengan apa yang mereka lihat. Mereka benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang mereka lihat.
Edi alias Ringgo berpelukan dengan pak Edi. Tangan pak Edi bahkan sudah terlepas dari ikatannya. Sedangkan tangan Edi alias Ringgo terjuntai lemah ke bawah. Mulutnya mulai mengeluarkan darah dan pipa besi yang dipegangnya akhirnya terjantuh ke lantai dan menimbulkan suara gaduh.
Pak Edi Kemudian mencabut sesuatu dari tubuh Edi dan melempar tubuh Edi ke lantai. Tubuh Edi kejang-kejang dan wearpack warna gelap yang dipakainya mulai belumuran darah.
Pak Edi memalingkan wajahnya ke arah Roni dan Surya sambil melepaskan ikatan di mulutnya kemudian melemparnya ke lantai. Dia menggenggam sebilah pisau belati. Rupanya yang di cabut dari tubuh Edi adalah sebilah pisau belati.
“Setahuku The Beatles itu anggotanya empat orang”, kata pak Edi. “Sedangkan kalian cuma tiga orang, nggak bisa jadi The Beatles dan Billy The Kid itu kerja sendirian. Tidak seperti kalian ini, kalian masih kacangan dan kalian….”
Belum selesai pak Edi bicara, tiba-tiba saja pipa besi yang ada di tangan Roni melayang ke kepala Pak Edi secara beruntun.
“Setan, kamu”, kata Roni. “Kamu bunuh temanku !! Kamu bunuh temanku !!”.
Lelaki tua itupun terkapar dengan luka berat di kepalanya. Beberapa tulang tengkoraknya remuk, darah segar mengalir dari luka-lukanya.
“Sudah John..!”, teriak Surya, dengan suara tertahan. “Kamu bisa membunuhnya”.
Surya menarik tangan Roni ke belakang. Kemudian dia memerikasa tubuh pak Edi sembari tangannya memeriksa denyut nadi di leher Pek Edi.
“Bagus …”, kata Surya. “Kamu baru saja membunuhnya”.
“Lihat Ringgo!”, kata Roni.
Mereka menghampiri Edi alias Ringgo sambil membuka stoking yang menutup kepala mereka. Roni memeriksa denyut nadi di leher Edi alias Ringgo.
“Apa dia masih hidup?”, tanya Surya.
“Dia juga sudah mati,
Surya gugup setengah mati, dia meremas-remas kepalanya. Dia tidak pernah berpikir akan seperti ini akhirnya. Roni berusaha untuk tidak panik dan dia harus menenangkan temannya.
“Kita sekarang harus bagaimana?”, setengah berteriak Surya. “Teman kita baru saja mati di depan mata kita hanya gara-gara ide gila kamu. Sekarang akan kita apakan mayatnya? Bagaimana kalau polisi datang? Bagaimana ini? Kamu bahkan baru saja membunuh Pak tua itu. Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini! Kita harus ke polisi dan menyerahkan diri”.
“Ssssttt….!!”, bisik Roni. “Kita harus pergi dari sini. Kita tinggalkan mereka berdua. Kita bikin seolah-olah mereka saling membunuh. Kalau kita ke polisi sama saja kita cari mati. Apa kamu pikir mereka akan memberi discount untuk orang yang menyerahkan diri? Tidak akan pernah. Aku punya ide yang lebih baik. Kita harus berusaha untuk tenang, oke”.
“Oke…”, kata Surya. “Oke… Aku akan berusaha tenang”.
“Bagus”, kata Roni, sambil tersenyum. “Sekarang kamu Bantu aku”.
Mereka kemudian menata dua mayat yang tergeletak di lantai itu. Roni mengganti pipa yang dipegang oleh Edi dengan pipanya yang berlumuran darah, kemudian menaruh pipa itu di genggaman Edi.
“Sur, sebar beberapa uang dari tas itu!”, kata Roni. “Jangan Banyak-banyak”.
Surya menebar beberapa lembar uang di sekitar dua mayat itu.
“Sebaiknya kamu punya rencana yang lebih baik kali ini”, kata Surya.
“Tidak ada yang lebih bagus dari rencana baruku ini”, jawab Roni sambil tersenyum.
Mereka kemudian memakai stoking kembali serta membawa pipa-pipa besi yang tersisa lalu mereka berdua melompat keluar dari toko satu-persatu kemudian pergi dengan mobil mereka yang penuh dengan uang hasil rampasan. Sekejap kemudian mereka sudah lenyap di telan kegelapan.